Review Film : The Girl Who Leapt Through Time (2006)

0

Time waits for no one…

The_Girl_Who_Leapt_Through_Time_poster.jpg

Saya lagi jatuh cinta sama film karya animator ternama Jepang, Mamoru Hosoda, director dari beberapa film animasi seperti The Girl Who Leapt Through Time (2006), Summer Wars (2010) dan Wolf Children (2014). Nah, kali ini saya menulis review salah satu filmnya , The Girl Who Leapt Through Time yang dirilis tahun 2006, udah lama banget, tapi baru nonton fimnya.

Film ini bercerita tentang seorang gadis bernama Konno Makoto yang secara tidak sengaja  memiliki kemampuan time leaping, melompati waktu untuk kembali ke masa lalu. Makoto adalah siswi SMA Suatu ketika, Makoto yang merupakan gadis yang tomboy ini (yang kalo ketawa mengingatkan saya pada seseorang 😀  😀 ) mengalami kecelakaan sepeda dimana ia menabrak palang pembatas jalur kereta karena rem sepeda miliknya mengalami blong. Maut nyaris menjemputnya , namun saat kereta hampir menabrak Makoto yang terjungkal, tiba-tiba ia kembali ke beberapa menit sebelum kecelakaan terjadi dan loloslah ia dari maut.

Semula ia tak percaya kalau itu adalah time leaping, hingga ketika Makoto bertemu bibinya yang merupakan kurator museum, barulah ia percaya. Bibinya bahkan menyarankan Makoto untuk mencari trik agar bisa mengunakan kemampuannya itu. Hal yang lucu setelahnya adalah karena secara harafiah time leap berarti melompati waktu maka Makoto pun mencoba trik pertama dengan melompat ke sungai. Well, trik itu berhasil dan dia datang ke masa lalu dengan berguling-guling dan kemudian sering digunakan Makoto untuk  melompati waktu meskipun sebetulnya tidak harus dengan cara melompat dan berguling-guling. Makoto menggunakan kemampuannya untuk kembali ke masa lalu untuk hal-hal yang pada dasarnya tidak penting yang sekiranya wajar terjadi semisal agar bisa memakan puding yang termakan oleh adiknya, menghindari keapesan yang terjadi saat kerja kelompok, menghindari ketika seorang teman laki-lakinya menyatakan perasaan padanya, atau agar bisa kembali makan malam dengan menu yang sama dengan hari kemarin dan sebagainya. Sampai suatu ketika ia ingin mengatur skenario dengan kembali ke masa lalu agar teman laki-lakinya yang bernama Kousuke dapat jadian dengan adik kelasnya yang semula ditolak olehnya. Skenario berhasil namun apa yang dinamakan Paradoks Waktu terjadi. Kemujuran yang dialami Makoto justru mengantarkan Kousuke menjemput maut di hari yang sama ketika Makoto mengalami kecelakaan dengan situasi yang sama, rem blong.

Bibi Makoto pernah berpesan pada Makoto bahwa “Ketika kamu ‘bersenang-senang’ (dapat membalikkan keadaan dengan time leap), bukankah akan ada orang lain yang akan tersakiti atau menderita?”.  Ketika ia tak bisa menyelamatkan Kousuke dari maut karena ternyata kemampuan time leap nya ternyata habis, ia pun secara tidak langsung menyesal telah menggunakan kemampuan time leapnya untuk hal yang tidak penting. Tidak disangka saat kejadian tersebut waktu tiba-tiba berhenti dan kemudian kembali ke beberapa waktu sebelum kejadian naas itu terjadi. Belakangan diketahui teman akrab Makoto selain Kousuke, Mamiya Chiaki adalah seorang dari masa depan yang kembali ke masa dimana Makoto hidup untuk melihat sebuah lukisan yang di masanya konon terbakar dalam sebuah kebakaran.

The Girl Who Leapt Through Time adalah film yang penuh dengan pesan moral, khususnya bagaimana dalam memanfaatkan waktu. “Time waits for no one” adalah ujar-ujar yang paling mengena dalam film ini. Waktu tidak pernah menunggu siapapun, ia terus bergerak maju, dan kita tak akan pernah punya kemampuan untuk membalikkan waktu, maka gunakanlah waktu dan momen sebaik mungkin karena jika itu adalah kesempatan bisa jadi kesempatan yang sama tak datang untuk kedua kalinya.

Meskipun bertema tentang time leap anime ini tidak menyuguhkan hal-hal yang terlihat sangat futuristik, seperti halnya film yang bertema waktu lainnya misal Back to the Future dan sebagainya. Penggambarannya sangat biasa dan ringan. Itulah yang membuat film ini bisa dinikmati dengan mudah dan menurut saya meskipun diangkat dari novel, film ini tidak hanya menyuguhkan cerita yang mengena tetapi juga menitikberatkan pada pesan moral seperti yang sudah disebutkan diatas.

Soundtrack pada film ini adalah hal lain yang menarik. Lagu yang dinyanyikan oleh Oku Hanako di bagian ending song dan background song di scene beberapa scene begitu memanjakan telinga dengan iringan piano nya. *Abis itu langsung download dan diputer seharian.

Film ini juga memenangkan penghargaan Japan Academy Prize for Animation of the Year pada tahun 2007. Japan Academy Prize for Animation of the Year adalah anugerah film tahunan yang diperuntukkan khusus bagi film animasi terbaik di Jepang. Film ini adalah langkah awal Mamoru Hosoda untuk melesat bersaing dengan karya besar Studio Ghibli yang menurut saya adalah Studio Animasi yang menghasilkan film animasi terbaik di Jepang. Jadi animator favorit saya saat ini bertambah satu disamping Hayao Miyazaki (Ghibli) yaitu Mamoru Hosoda.

Review Film : Hotarubi No Mori e (Into the Forest of Fireflies Light)

0

ff036e1e5d_95476674_o2

Setelah lama tidak membuat review lagi setelah tulisan review terakhir tentang film Giovanni No Shima, kali ini saya ingin kembali menulis review mengenai anime movie yang telah saya tonton. Kali ini saya akan menulis review film berjudul Hotarubi No Mori e atau dalam bahasa inggris berjudul “Into the Forest of Fireflies Light”. Film ini bergenre Drama / Romance ng … sebenernya saya sering ngaku ga suka film film romance, tapi sebenernya lumayan seneng, cuma pilah-pilih aja haha …

Film ini diadaptasi dari manga karya Yuki Midorikawa dengan judul yang sama. Film yang dirilis pada tahun 2011 ini bercerita mengenai seorang anak bernama Hotaru Takegawa yang menjalin persahabatan dengan seseorang bernama Gin yang ditemuinya di hutan yang konon dihuni oleh lelembut penunggu gunung (dalam anime ini disebut Mountain God). Pertemuan keduanya diawali ketika Hotaru tersasar di hutan dan hampir tidak menemukan jalan pulang ke rumah pamannya yang dikunjunginya setiap libur musim panas. Kemudian secara tiba-tiba muncul seorang misterius bertopeng yang belakangan diketahui bernama Gin yang meminta agar Hotaru tidak menyentuhnya karena dia akan lenyap jika disentuh oleh manusia. Persahabatan mereka pun terjalin sejak saat itu. Setiap musim panas ketika Hotaru ke rumah pamannya ia selalu mampir mblusuk ke hutan untuk bertemu Gin.

Seiring berjalannya waktu Hotaru tumbuh menjadi seorang remaja dan menyadari bahwa Gin sama sekali tidak mengalami penuaan sebagaimana manusia normal sejak pertama kali mereka bertemu hingga Hotaru menginjak usia SMA. Karena itulah Hotaru mengira Gin adalah lelembut penunggu hutan. Pada suatu waktu Gin mengakui bahwa dirinya bukanlah lelembut sebagaimana dikira oleh Hotaru.

Bagian penting dari film ini adalah ketika perasaan antar keduanya semakin tumbuh meskipun mereka hanya bertemu saat musim panas. Kisah mereka yang berbeda dunia menjadi inti dari film ini. Hotaru yang manusia normal dan Gin yang antah berantah meskipun sejatinya ia adalah manusia. Meskipun begitu film ini bukan film yang membuat nyesek layaknya film Makoto Shinkai macam 5cm per Second atau Garden of Words. Film ini meskipun berakhir mengharukan yaitu perpisahan selamanya antara Hotaru dan Gin namun nuansa yang ditonjolkan begitu bahagia karena Gin ada akhirnya dapat merasakan sentuhan tangan manusia yang selama hidupnya merupakan pantangan.

Dari sisi waktu film ini hanya berdurasi 44 menit. Tidak begitu panjang namun Tim Produksi Brain Base membuat porsi yang cukup baik dalam menggambarkan perjalanan hidup dan perkembangan Hotaru dari masa anak-anak hingga remaja serta  pengemasan film animasi ini dalam alur Flashback.

Setting dari film ini pun digambarkan sangat menarik, yaitu di Kamishikimi Kumanoimasu Shrine di Prefektur Kumamoto Jepang. Meskipun bersetting di lokasi yang kata orang Indonesia wingit alias angker karena dihuni pada penunggu hutan, sama sekali tidak ada kesan horror yang menonjol di film ini. Justru menurut saya ada nilai edukasi untuk tetap menjaga lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Sekian review film kali ini, sampai jumpa lagi di review film berikutnya.

Review Film : Giovanni no Shima (Giovanni’s Island)

0

Giovanni no Shima (Giovanni’s Island) bercerita tentang dua orang kakak beradik bernama Junpei dan Kanta yang hidup di pesisir di salah satu pulau yang berada dalam gugusan kepulauan Kuril. Film ini bersetting tahun 1945, periode yang menjadi titik balik kehidupan sosial politik Jepang karena kekalahan Jepang pada era Perang Dunia ke 2.

Inti cerita dimulai ketika Kaisar Jepang mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dibawah kepemimpinan Amerika Serikat dan didengarkan oleh seluruh penduduk di pulau tersebut dan tak lama kemudian mendengar kabar bahwa dalam waktu dekat tentara Soviet akan tiba di pulau tersebut. Ini adalah salah satu hal yang menarik di film ini dimana memperlihatkan situasi pasca perang. Selain mengambil setting di kawasan paling utara Jepang (kepulauan Kuril) film ini pun menceritakan “kisah” antara Jepang dan Soviet (yang kadang terlupakan sebagai bagian dari Allied Force) yang jarang diceritakan (Saat saya mengerjaka skripisi pun saya hanya terfokus pada Jepang dan AS sebagai sekutu Hehehe …). Dalam waktu singkat Tentara Soviet yang oleh penduduk disebut Russkies datang dan menduduki pulau tersebut dan mendirikan basis pertahanan di sana. Rumah Junpei dan Kanta pun harus rela dirampas dan dijadikan rumah komandan dari tentara Soviet sehingga harus tinggal di bagian dapur merangkap kandang kuda. Begitu pula dengan sekolah meraka yang harus rela dibagi dua, setengah untuk sekolah warga pulau dan setengahnya untuk sekolah bagi anak-anak prajurit yang ditugaskan.

Di sekolah inilah Junpei dan Kanta kemudian bertemu dengan seorang gadis Soviet bermata biru bernama Tanya yang kemudian diketahui ternyata adalah putri dari sang Komandan Pasukan Soviet. Meskipun mereka berbeda kultur, bahasa, budaya dan situasi politik antar negara yang seakan memposisikan Jepang sebagai terjajah dan Soviet sebagai penjajah, namun tak menjadi halangan bagi mereka untuk menjalin persahabatan.

Film ini sangat menarik bagi saya karena meskipun mengambil setting pasca PD2, dimana memang kondisi Jepang cukup mengenaskan sebetulnya, namun film ini memberikan nuansa ceria dan menghibur dari segi cerita dan art-nya. Misalnya ketika saat sekolah dimana satu kelas menyanyikan lagu rakyat Jepang tetapi di kelas lain yang tepat di sebelahnya menyanyikan lagu rakyat Soviet yang cukup terkenal “Katyusha” dan kemudian dua kelas ini saling bergantian menyanyikan lagu rakyat, dimana “Kelas Jepang” menyanyikan Katyusha dan sebaliknya. Dan saya kira film ini sangat bagus untuk memberikan gambaran awal khususnya yang mempelajari mengenai sosial politik Jepang, apa yang terjadi di kepulauan Kuril (yang saat ini berada dibawah yurisdiksi Pemerintah Rusia) pasca PD 2. Melihat bagaimana sulitnya masyarakat mendapatkan bahan makanan pokok, hingga bagaimana penduduk Kuril sangat familiar dengan budaya Soviet.

Disamping itu ternyata film ini juga memiliki bagian mengharukan (namun tidak sampai menyayat hati seperti Grave of the Fireflies) dimana di bagian akhir film ini seluruh penduduk di Kepulauan Kuril dipindahkan ke Pulau Shakalin yang berada di bagian barat untuk dipekerjakan di logging camp. Bagian ini menceritakan bagaimana Junpei dan Kanta nekat menembus badai salju untuk bertemu ayahnya yang sebelumnya ditangkap oleh Soviet dan kemudian tak diketahui keberadaannya dan kemudian diketahui berada di pulau yang sama.